ABTRAKSI |
Ketersediaan lapangan kerja, tenaga kerja terampil serta kehadiran
kekuatan wirausaha baru merupakan faktor terpenting dalam
mengurangi ketimpangan di Indonesia. Hadirnya revolusi industri
4.0 dipandang Pemerintah Indonesia sebagai peluang untuk
meningkatkan perekonomian negara. Namun sayangnya, tenaga
kerja terampil yang tersedia belum mencukupi kebutuhan pasar
kerja yang ada. Karena itu, peran BUMN dan Balai Latihan Kerja
(BLK) sangat strategis dalam memastikan tersedianya tenaga kerja
berkualitas melalui pelatihan vokasi. Agenda utamanya adalah
menciptakan tenaga kerja dengan keterampilan mumpuni yang
mampu mengakses kerja layak sehingga dapat memperbaiki
standar hidup yang lebih baik. Akselerasi keterampilan angkatan
kerja harus sesuai dengan kebutuhan pasar kerja (Prakarsa, 2018).
Kebutuhan tenaga kerja terampil indonesia setiap tahunnya
semakin meningkat, namun pemerintah belum mampu
menciptakan tenaga kerja yang terampil bagi dunia usaha dan
dunia industri. Setiap tahunnya indonesia kekurangan tenaga kerja
terampil sebanyak 3,8 juta orang. padahal tahun 2030 indonesia
akan mendapatkan bonus demografi dimana tenaga produktif akan
lebih dominan. kebutuhan tenaga terampil pada tahun 2030 juga
bertambah sebanyak 57 juta orang tenaga kerja terampil (katadata,
2018). Faktor kekurangan ketersediaan tenaga kerja terampil
tersebut, salah satunya disebabkan karena terjadinya mismatch
antara lembaga pendidikan ataupun pelatihan (Vokasi) terhadap
kebutuhan dari dunia usaha dan dunia industri terhadap tenaga
kerja terampil (SNI, 2019).
Hadirnya UU Desa dan juga UU Keistimewaan DIY, diharapkan
mampu menciptakan lapangan kerja dan wirausaha baru di
pedesaan sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan ekonomi
masyarakat desa. Apalagi dalam konteks DIY, UUK DIY
mengamanatkan untuk membangun desa/Kalurahan berbasis
PANITIA BERSAMA
YOUTH SOCIAL ENTREPRENEUR
BOOTH CAMP
Budaya yang salah satu tujuannya adalah menjadi Desa Mandiri
Budaya. Dalam upaya untuk menuju Desa Mandiri Budaya tersebut
perlu diwujudkan suatu entitas usaha Desa yang disebut sebagai
Desapreneur.
Berdasarkan konteks tersebut, perlu adanya sebuah kegiatan yang
menjadi basis Desapreneur dalam bentuk peningkatan kapasitas
para pemuda desa dibidang wirausaha melalui kegiatan “ Youth
Social Enterpreneur Booth Camp”. Kegiatan ini bisa didanai oleh
BUMN (CSR), Pemerintah, Lembaga swasta atau non-pemerintah,
donatur, tokoh masyarakat, pemerhati dan lainnya.
|